Pada waktu itu kita sudah punya visi 2010.
Hitung-hitungan itu berdasarkan pada hitungan fenomena masa itu, menurut
pandangan atau hitungan manusia pada masa itu ada rejim militer yang
kuat, yang kokoh, tapi kita yakin bagaimana pun kokohnya seseorang, yang
mengalahkannya adalah fitroh. Pertama fitroh ketuaannya para diktator
itu, memasuki hari-hari dimana dia sudah lapuk, pasti jatuh. Jadi dia
akan dikalahkan oleh fitrohnya sendiri. Sampai kita hitung, sangat
konservatif hitungannya, bahwa Soeharto itu akan turun sekitar tahun
2003, dan sampai dengan 2007 masih diperintah pewarisnya, yang mewarisi
kekuatannya, tapi sudah tidak sekuat pewarisnya. Dan mulailah pada saat
itu rakyat mulai berani sampai kira-kira runtuh secara sistem tahun
2007. Lalu rakyat mulai menghimpun kekuatan, dan kira-kira tahun 2010,
partai-partai Islam akan muncul. Itulah hitungan kita secara konservatif
pada masa itu.
Dengan hitungan seperti itu kita bekerja keras,
kita yakin dengan kerja keras kita akan muncul. Kita berusaha ikhlas,
itqon, berusaha ihsan dalam bekerja. Allah Yang Maha Mengetahui
keikhlasan para amilin di medan dakwah, yang ternyata Allah mempercepat
12 tahun.
Pada tahun 1998 ternyata peluang jatuhnya rejim itu
semakin kuat, maka kita lakukan langkah-langkah akselerasi. Masalahnya
sederhana, kalau kita mau merencanakan, “Ah mau makan nasi kebuli minggu
depan…”, kemudian tiba-tiba ada yang ngasih nasi kebuli hari ini, ya
kita makan saja. Jangan kita biarkan karena rencana makannya juga minggu
depan, bisa basi nasi kebulinya.
Begitulah Allah SWT memang
selalu mendahului kita dengan ihsan-Nya, selalu mendahului kita dengan
nikmat-Nya, selalu mendahului kita dengan pemberian-Nya, sampai
kemunculan kita dipercepat 12 tahun. Ketika muncul itu kader inti kita
baru 3.000 orang, kader pendukung 30.000 orang, di tengah-tengah
masyarakat yang jumlahnya 200 juta orang.
Langkah kita melakukan
ekselerasi termasuk berani dan perkataan itu bukan perkataan kita,
melainkan kata orang lain. Banyak gerakan dakwah di negara-negara lain,
yang juga dianggap berani, dimana penduduknya lebih sedikit, kemudian
jumlah kadernya banyak, namun ternyata belum melakukan langkah
akselerasi. Padahal kondisi penguasanya mirip, sama dengan kondisi
Suharto pada tahun 1998, sudah lapuk, tua, umurnya sudah di atas 70
tahunan, sistemnya sudah korup, sudah bobrok, tapi masih kelihatan
berdiri pemerintahan yang zholim itu, yang diktator itu. Para ahli
dakwah ada yang menilai, ini sebetulnya bukan kekuatan rejim yang sudah
lapuk, yang sudah tua, masalahnya cuma tidak ada yang ‘mendorong’ saja,
maka kita membutuhkan usaha untuk itu.
Kondisi kita pada waktu
itu, dengan umur dakwah yang masih muda—jumlah kader inti 3.000 dan
kader pendukung 30.000 di tengah 200 juta lebih penduduknya, di bawah
kekuasaan rejim militer—tetapi kita melihat usia rapuh, kondisi korup
dari pemerintahannya, dan rakyat sudah bosan. Tahun 1997 - 1998 itu
orang bukan hanya tidak senang, tapi sudah bosan. Sampai ada yang
ditanya oleh wartawan karena orang itu ikut-ikutan demonstrasi. Ditanya,
“Kenapa ikut demonstrasi?”. Jawab dia, “Gak usah nanya, saya lahir
zaman Suharto, saya nikah zaman Suharto, anak saya juga lahir zaman
Suharto.” Rakyat sudah bosan dengan pemerintahan yang korup dan rapuh.
Sebenarnya upaya untuk ‘mendorong’ sudah kita mulai dengan
latihan-latihan. Dari awal 1995-an sudah mulai berlatih demo dengan
mengangkat isu-isu internasional; isu Bosnia, bahkan dari tahun 1990-an
kita angkat isu Afghanistan, Palestina, dll. Karena isunya
internasional, maka pihak keamanan merasa aman saja, sebab tidak
menyoroti isu dalam negeri. Banyak orang merasa aneh, “Isu dalam negeri
banyak, kok ‘anak-anak muda berjenggot’ yang dijadikan tema demonya isu
internasional terus?” Mereka tidak mengetahui rencana kita, padahal kita
sedang latihan bagaimana mengkoordinir massa, “Kenapa ‘anak-anak muda
berjenggot’ itu tidak peduli terhadap tanah air?”. Aparat merasa
man-aman saja karena tidak mengangkat isu dalam negeri, dianggap tidak
peduli terhadap bangsanya.
Ketika mula-mula mengangkat isu-isu
internasional itu pun dilakukan di lingkungan kampus, yang dianggap
wilayah aman oleh mereka. Kemudian pindah ke halaman masjid, juga
dianggap wilayah aman. Lama-lama ke jalan di depan kampus, habis itu
masuk lagi ke dalam kampus. Tidak pernah ada bentrokan. Aman-aman saja.
Tapi sebetulnya kita sedang berlatih. Pada waktu itu kita gak punya
tokoh, simbol, atau figur.Tapi karena kita sudah mulai menyentuh publik,
maka dibutuhkan juga tokoh yang tampil, dan tokoh itu kita undang dalam
demo-demo kita sampai datang situasi kondisi sektor ekonomi yang
semakin parah. Terjadi krisis moneter yang dahsyat. Krisis ini membuat
kita panik. Itu salah satu instrumen yang diberikan Allah untuk
mendukung kita dalam reformasi dalam menjatuhkan sistem atau rejim yang
zholim. Peran-peran itulah yang membuat kita menjadi syai’an madzkura
(sesuatu yang bisa disebut).
Akhirnya masyarakat tahu bahwa
‘anak-anak muda berjenggot’ itu termasuk faktor penentu dalam reformasi,
pengibar bendera reformasi di barisan terdepan.
sumber: al-intima.com
EmoticonEmoticon