Oleh: Irwan Saputra SH
Ibnu Khaldun, seorang ilmuwan muslim yang dijuluki
sebagai bapak sosiologi lahir pada 27 Mei 1332 di Tunisia, dalam nasehatnya
tentang pijakan dasar teori siklus hidup dalam konteks relasi sosial mengatakan
bahwa manusia hanya mungkin bertahan hidup dengan bantuan makanan, maka upaya mendapatkan
makanan merupakan satu bentuk keharusan sebagai eksistensi kehidupan di dunia,
namun setidaknya dalam rangka mendapatkan makanan yang sedikit dalam waktu
sehari saja, harus melalui rangkaian proses produksi yang memerlukan banyak
pekerjaan dan melibatkan banyak komponen dalam satu rangkaian produksi yang
panjang. Memaknai apa yang disampaikan Ibnu Khaldun tujuh abad lalu itu yang
merupakan gambaran force casting mengenai pentingnya ketahan pangan
sebagai salah satu persoalan yang bakal menentukan kelangsungan hidup umat
manusia.
Setelah PBB mencatat manusia yang ke 7 miliar
dilahirkan pada senin 31 Oktober 2011 lalu hingga mengakibatkan isu global
perlahan bergeser kearah isu pangan, khususnya keamanan pangan yang tidak aneh
jika memunculkan pertanyaan bahwa mungkinkah terjadi gesekan fisik antara umat
manusia di planet biru ini karena makanan atau lahan pertanian? Pertanyaan ini
tampak sederhana, tapi menjelma menjadi sebuah pertanyaan krusial yang
menghujam dibenak kita yang hidup di era saat manusia telah kian mengalami
pertumbuhan yang tak terkendali.
Di Indonesia, angka kelahiran cukup tinggi.
Pertumbuhan penduduknya mencapai 6 juta jiwa per tahun sehingga bangsa agraris
ini pun tak luput dari intaian kerawanan pangan. bahkan beberapa peristiwa
kenaikan harga pangan seperti cabe, jengkol, beras, daging, sapi, kedelai, dan
berbagai jenis pangan yang harganya meleset secara mengejutkan, merupakan lampu
kuning atas kebijakan pangan di negeri ini. Menurut catatan badan pangan dunia FAO
atau Food and Agriculture Organization, 1 dari 8 penduduk di muka bumi ini
menderita kelaparan karena tidak mampu mengakses pangan. Indonesia dengan
jumlah populasi mencapai 259 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata
1,49 persen pertahun menyebabkan kebutuhan pangan terus meningkat. Sebaliknya tren
kebutuhan pangan ini malah tidak diimbangi kemampuan produksi, dibarengi dengan
kebijakan pembangunan ekonomi yang hanya menumbuhkan harapan belaka.
Realitasnya dari tahun ke tahun pemerintah hanya mengandalkan pangan impor
bahkan pangan yang bisa diproduksi di dalam negeri, pun tak luput dari
impor dan saat ini tak bisa dipungkiri
jika Indonesia menjadi importir pangan terbesar ke dua di dunia setelah Mesir.
Secara visioner kita bisa memproyeksikan jika
sektor pertanian dan pangan bakal menjadi variabel penting untuk mengungkit
daya tawar suatu wilayah dalam percaturan global. dimasa depan saat kebutuhan
pangan semakin tinggi, wilayah-wilayah berbasis pertanianlah yang akan paling
diperhitungkan-selain produsen energi dan minyak, pangan yang akan menjadi
benteng terakhir menentukan eksistensi populasi manusia di muka bumi ini yang pada
saatnya nanti, pangan adalah penentu stabilitas suatu negara dan dunia.
Dengan membaca fakta-fakta diatas seolah
menggambarkan awal mula krisis pangan di
dunia bahkan bisa jadi melahirkan hipotesis bahwa suatu saat umat manusia akan
terlibat perang karena memperebutkan bahan makanan, ini bakal terjadi jika saat
ini manusia yang tinggal di muka bumi ini tidak memiliki "paradigma"
yang mendorong pembangunan sektor pertanian secara konseptual dan
berkesinambungan.
Dalam konteks keindonesiaan,
Dari tahun ke tahun, ada sebuah ritual di sektor
pangan. Menjelang ramadhan harga-harga kebutuhan pokok merangkak bahkan ada
yang meroket naik. Harga beras misalnya menyentuh level yang fantastis yaitu
naik sekitar belasan persen lebih mahal dari harga rata-rata nasional sebelum
ramadhan. Bila beras yang semestinya masih dibawah kontrol pemerintah saja
sedemikian (berharga) liar, maka pangan lain seperti sayur dan buah yang nyaris
bergantung pada impor, tentu akan jauh lebih dramatis lagi, demikian halnya gula
pasir dan terigu.
Wilayah Indonesia sangat luas, terbentang dari
Sabang sampai Merauke, yang tentunya kenaikan harga tak hanya terjadi di
kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Tapi sampai ke
pelosok-pelosok negeri semisal daerah-daerah pelosok yang berada diwilayah
hukum Sulawesi Tenggara, maka mestinya pemerintah menaruh perhatian besar
terhadap persoalan ini dan tentunya harus memiliki ramuan jitu berupa inovasi
dalam menjawab ritual-harga pangan yang tak berkesudahan.
Dalam skala Sulawesi Tenggara, Selain kebijakan
politik pangan dari pusat yang tumpul terhadap nasib petani dan pertanian di
daerah-pelosok. Saat ini, di tengah-tengah masyarakat juga berkembang stigma
bahwa pertanian tak menjanjikan kesejahteraan sehingga mendorong masyarakat
yang awalnya bekerja di sektor pertanian lebih memilih untuk melakukan
urbanisasi-mencari penghidupan di kota, atau alternatif lain masuk sebagai
karyawan industri perusahan tambang milik asing di daerah kabupaten yang ada di
Sulawesi Tenggara. Alasannya sederhana, mereka lebih merasa sukses karena tidak
lagi melanjutkan kebiasaan keluarga sebagai petani yang identik dengan
kemiskinan.
Restorasi Harkat Martabat Pertanian di Timur
Indonesia, Sulawesi Tenggara
Prof. Dr. H Laode Masihu Kamaluddin Msc., M.eng
mantan Rektor Unissula-Semarang yang kini mejabat sebagai Rektor Universitas
Lakidende (Unilaki) sekaligus sebagai konseptor Smart Village dan Agroindustri
Unilaki hadir di tengah-tengah masyarakat untuk mejawab apa yang menjadi
tantangan dan problem dari banyak problem yang ada. melalui lembaga perguruan
tinggi yang dipimpinnya tepat berkedudukan di konawe, Sulawesi Tenggara, dengan teknologi
Green House yang diklaim sebagai inovasi industri pertanian
masa depan yakni sebagai salah satu lembaga pendidikan yang saat ini
sedang naik daun, inovasi Unilaki diharapkan mampu dioptimalkan Pemerintah
daerah maupun pemerintah pusat dalam menerapkan pola Green House ini untuk
kemasalahatan petani guna menjadikan provinsi Sulawesi Tenggara sebagai
sektor utama yang tak hanya mengandalkan hasil panennya, namun juga unggul
dari bidang teknologi.
Staf ahli Menristek bidang Relevansi dan
Produktivitas, Agus Puji Prasetyono dalam kunjungannya, beberapa pekan lalu
(minggu 7/4/2017) mengatakan, sudah saatnya pemerintah membuka diri
terhadap kemajuan-kemajuan yang ada di sekitarnya. Tentunya pola Green
House milik Unilaki haruslah segera dimaksimalkan penggunaannya
dengan secepatnya menerapkan pola ini pada petani-petani di Sulawesi
Tneggara
“Ini bukan hanya soal penemuan, tapi ini manfaat
yang dapat dirasakan masyarakat, sebab dengan konsep ini masyarakat akan
mampu memaksimalkan hasil pertanian mereka.” Ujar Agus yang ditemui usai
meninjau Lokasi Green House. Pola Green House ini akan dijadikan program
nasional, sehingga penerapan teknologi pertanian ini bisa merata di
seluruh nusantara, tentu saja Unilaki sebagai nahkodanya. Sehingga
manfaat yang dirasakan tak hanya di wilayah-wilayah tertentu tapi bisa
merata. Kita harapkan konsep ini bisa menjadikan pertanian kita menjadi
lebih baik. Pemerintah harus mampu mengambil resiko untuk berpihak
pada kemajuan, itulah dinamika politik yang sesunguhnya. Tujuannya
tentu agar semua bisa menikmati hasilnya, khususnya petani.” Kata Agus.
Menurut Prof laode ikhtiar pembangunan proyek
peradaban yang di geluti ini melalui Smart Village dan Agroindustri
adalah tidak hanya berarti sebagai keadaan terjaminnya ketersediaan dan
stabilitas pangan, tetapi juga akan jauh menukik pada persoalan ekonomi,
politik, pendidikan, pertumbuhan ekonomi, laju pertumbuhan penduduk dan
perubahan iklim, maka setidaknya jika sektor pertanian di konsepkan secara
matang dan dikelola dengan baik, bahkan semua potensi-potensi pertanian bila
perlu bersama bidang kelautan dikerahkan secara optimal di Sulawesi Tenggara
maka lebih dari 259 juta penduduk Indonesia kebutuhan perutnya akan tersuplai
berkat satu ikhtiar ini.
Oleh karena itu, kiranya tidak berlebihan ketika
masyarakat Sulawesi Tenggara bertekad agar bagaimana tokoh akademis satu ini
yang memiliki gagasan besar di barengi kerja nyata-turun gunung dalam rangka
memegang kepemimpinan "satu" Sulawesi Tenggara melalui kontes pilkada
serentak 2018 mendatang, tentu dengan harapan kepemimpinan yang mendorong
kebaikan para petani dan nelayan yang masih mau berpeluh di sawah, ladang dan
mengarungi gelombang diatas kedalaman samudera, sebab petani dan nelayan adalah
pekerjaan mulia meski hari ini terpampang fakta ironi keberadaan petani dan
nelayan sebagai ujung tombak kedaulatan pangan negeri ini, nyaris tak di ikuti
pembelaan dan penghargaan kongkret. Dan LMK hadir untuk menjawab semua itu.
Penulis adalah mantan ketua departemen kajian
strategi KAMMI komisariat Unissula periode 2016 sekaligus mahasiswa alumnus
program beasiswa cerdas sultraku asal Bombana.
EmoticonEmoticon